Epistemologi Fazlur Rahman dan Relevansinya dengan Model Pendidikan Pesantren Kontemporer

  • Hasbi Habibi Pascasarjana IAID Ciamis Jawa Barat

Abstract

This study discusses the epistemological construction of Fazlur Rahman's thoughts regarding its relevance to the Islamic boarding school education model in the modern era. Until now, pesantren education is still faced with a problematic position between 'historical determinism' and 'practical realism'. In reality, pesantren education is still fascinated by the idealization of the golden age of the past Islamic civilization which was so hegemonic. On the other hand, pesantren education is also encouraged to be able to accept today's demands, especially those that come from Western ideas with a very practical orientation. Fazlur Rahman as an Islamic reformer has views on the historical journey of Islamic education, so he criticizes the traditionalization of knowledge in Islamic history with a neo-modernist style of thought. Fazlur Rahman's biggest contribution to Muslims is the overhaul of epistemological conceptions which has caused Muslim people's thinking to be old-fashioned, puritanical and dichotomous in solving problems, which has resulted in Muslims finding it difficult to think synthetically, elastically and pragmatically. In this case, Fazlur Rahman has provided an alternative way of thinking for Muslims in today's modern era, especially in the world of Islamic education.

Author Biography

Hasbi Habibi, Pascasarjana IAID Ciamis Jawa Barat

KONSTRUKSI EPISTEMOLOGI FAZLUR RAHMAN DAN RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN ISLAM MODERN

Oleh

HASBI HABIBI

 

Abstrak

Tulisan ini membahas tentang konstruksi epistemologi dalam pemikiran Fazlur Rahman relevansinya dengan pendidikan Islam di era modern. Hingga kini pendidikan Islam masih berada dalam posisi problematik antara ‘determinisme historis’ dan ‘realisme praktis’. Di satu sisi, pendidikan Islam belum sepenuhnya keluar dari idealisasi kejayaan pemikiran dan peradaban Islam masa lampau yang hegemonik, sementara di sisi lain pendidikan Islam juga dipaksa untuk mau menerima tuntutan-tuntutan masa kini, khususnya yang datang dari Barat dengan orientasi yang sangat praktis. Fazlurrahman sebagai tokoh pembaru Islam mempunyai gambaran tentang perjalanan sejarah pendidikan, sehingga kritik tradisionalisasi ilmu dalam sejarah Islam ia lantunkan dengan gaya pemikiran neo-modernismenya. Sumbangan terbesar Fazlur Rahman bagi umat Islam adalah perombakan konsepsi tentang epistemologi yang membuat pemikiran umat Islam rigid, puritan, dan dikotomis dalam memecahkan persoalan yang mengakibatkan umat Islam sulit untuk berpikir sintesis, elastis, dan pragmatis. Fazlur Rahman telah memberikan alternatif berpikir bagi kaum muslimin.

Kata kunci: Konstruksi Epistemologi, Pendidikan Islam, Modern, Neo-Modernisme.

 

1.  Pendahuluan

Perkembangan informasi yang semakin pesat tidak membuat orang berhenti mencari kenyataan. Hal ini semakin mendorong orang untuk terus mencari dan mencari kebenaran yang bergantung pada hipotesis yang ada untuk menguji spekulasi baru atau membatalkan hipotesis masa lalu. Tujuannya agar masyarakat saat ini jauh lebih dinamis dalam melakukan eksplorasi logis untuk menemukan jawaban atas setiap kesulitan yang mereka hadapi pada ‘planet’ bumi ini, termasuk masalah pendidikan Islam dituntut untuk mampu memainkan perannya secara dinamis dan proaktif dalam atmosfir modernisasi dan globalisasi.

Kajian epistemologi memiliki arti yang sangat penting bagi bangunan pengetahuan, sebab ia merupakan tempat berpijak. Bangunan pengetahuan menjadi mapan, jika memiliki landasan yang kokoh. Landasan epistemologi ilmu adalah metode ilmiah, yaitu cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar. Dengan demikian metode ilmiah merupakan penentu layak-tidaknya pengetahuan menjadi ilmu, sehingga memiliki fungsi yang sangat penting dalam bangunan ilmu pengetahuan, terutama ketika kita akan mengkonstruksi ilmu pendidikan Islam.

Adanya anggapan bahwa saat ini umat Islam sedang mengalami kerusakan pemahaman tentang ilmu itu sendiri. Di lembaga pendidikan umum terjadi ignorance (kebodohan) terhadap ilmu agama. Banyak sekali sarjana-sarjana dalam bidang ilmu pengetahuan tertentu yang tidak bisa membaca al-Quran atau memahami ajaran ajaran pokok agamanya; dan begitu pula sebaliknya.[1]

Islam sangat mementingkan pendidikan, dengan pendidikan yang benar dan berkualitas, individu-individu yang beradab akan terbentuk, pada akhirnya muncullah kehidupan sosial yang bermoral, maka konstruksi epistemologi Islam dalam dunia pendidikan sangat penting dilakukan demi menghasilkan pendidikan Islam bermutu dan mencerdaskan, terlebih dalam krisis kekinian yang menyangkut pengetahuan dan konsepsi pendidikan Islam. Dalam konteks ini, konstruksi epistemologi dalam dunia pendidikan Islam sangat penting dilakukan demi menghasilkan pendidikan bermutu dan yang mencerdaskan, terlebih dalam krisis kekinian yang menyangkut dekadensi moral, sehingga pendidikan Islam sampai saat ini masih belum mampu menunjukkan perannya secara optimal dalam tataran realita (das sein) –diakui ataupun tidak.

Secara keseluruhan, epistemologi dapat dikenali sebagai karya seni dan bersifat kontemporer. Epistemologi tradisional menonjolkan bagian-bagian sumber dan informasi, sedangkan epistemologi kontemporer berpusat pada siklus, teknik dan strategi yang digunakan untuk mendapatkan informasi.[2] Dalam konteks ini, epistemologi pendidikan Islam meliputi pembahasan yang berkaitan dengan hakikat, sumber dan metode pendidikan Islam. Hal ini sebuah keniscayaan, karena jika problem-problem kontemporer dewasa ini dipecahkan dengan metode orang-orang dulu jelas berbeda dengan problem saat ini.

Fazlur Rahman (wafat 1988), seorang pembaharu yang paling berpengaruh pada abad ke-20, yang berpengaruh besar di dunia Islam, bahkan di Chicago Amerika, memiliki berbagai pemikiran yang terkait dengan persoalan keislaman. Ia begitu kritis, baik terhadap warisan Islam sendiri maupun terhadap tradisi Barat.

Artikel ini mencoba memberi tawaran konstruksi epistemologi dari pemikiran Fazlur Rahman dan rekevansinya dengan pendidikan Islam modern. Dalam pembahasan ini epistemologi Fazlur Rahman lebih mengarah pada metodologi berikut komponen-komponennya, sebab metode yang terkonsep menjadi sebuah ilmu paling dekat dengan upaya mengembangkan pendidikan Islam, baik secara konseptual maupun aplikatif.

Penelitian melalui tulisan artikel ini diharapkan dapat memberikan gambaran konstruksi epistemolog Fazlur Rahman dalam relevansinya dengan pendidikan Islam Modern. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dalam artikel ini dituangkan judul “Konstruksi Epistemologi Fazlur Rahman dan Relevansinya dengan Pendidikan Islam Modern.”

 

2.  Metode Penelitian

Secara metodologis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang diarahkan kepada eksplorasi kajian pustaka (library research), bersifat statemen atau pernyataan serta proposisi-proposisi yang dikemukakan oleh para cendekiawan sebelumnya.[3] Sedangkan, jika dilihat dari sifat tujuannya penelitian ini termasuk penelitian deskriptif-eksplanatif, yakni mendeskripsikan terlebih dahulu bagaimana konstruksi dasar epistemologi Fazlur Rahman, bagaimana situasi dan konteks yang melatarbelakangi pemikirannya, kemudian penulis akan melakukan konstruksi berdasarkan pemikiran tokoh tersebut, khususnya dalam bidang pendidikan Islam.

Pendekatan yang penulis gunakan adalah pendekatan historis-kritis filosofis, yaitu dengan merunut akar-akar historis secara kritis mengapa tokoh tersebut menggulirkan gagasan yang kontroversial tersebut, bagaimana latar belakangnya, lalu mencari struktur fundamental dari pemikiran tersebut.

Mencari fundamental struktur itulah yang menjadi ciri pendekatan filosofis.[4] Pendekatan tersebut sebenarnya juga sangat bernuasa hermeneutik, karena dengan pendekatan tersebut penulis akan berusaha untuk mengkritisi keterkaitan antara pemikiran pendidikan Rahman dengan kondisi pendidikan masa kini.

Data primer dalam penelitian ini peneliti merujuk pada karya Rahman tentang konsep- konsep yang telah dihasilkan lewat karyanya. Di antara karya Rahman yang dijadikan sebagai sumber primer adalah: 1) Islam and Modernity: Transformation of an Intelectual Tradition Intelektual; 2) Islamic Methodology in History; 3) Major Themes of the Quranic; 4) A Study of Islam, Revival and Reform in Islam; 5) Islam, Major Themes of the Quran. Islam and Modernity: Transformation of an Intellecttual Tradition; 6) Islamic Modernism: Its Scope, Method and Alternatives; dan 7) The Qur’anic Solution of Pakistan’s Educational Problem.

Dalam mewujudkan gambaran yang lebih konkret, penelitian deskriptif analitik dapat menggunakan content analysis yang menekankan pada analisis ilmiah tentang isi pesan dan komunikasi.[5] Dalam menganalisis data, penulis menggunakan teknik analisis isi dengan memanfaatkan prosedur yang dapat menarik kesimpulan dari sebuah buku atau dokumen. Penulis juga menggunakan teknik analisis historis agar dapat mengkontekstualisaikan gagasan yang ada sesai dengan perkembangan zaman.

 

3.  Pembahasan

a.  Konstruksi Epistemologi Fazlur Rahman

Fazlur Rahman termasuk seorang cendekiawan yang produktif. Setidaknya terdapat lebih dari 5 buku (selain disertasi doktor) dan tidak kurang dari 50 artikel yang dimuat di beberapa jurnal Internasional. Disertasinya ketika di Oxford membahas Ibnu Sina, dan pada saat yang sama, ia menterjemahkan beberapa buku Ibnu Sina. Di antara karya-karyanya adalah 1) Prophecy in Islam: Philosophy and Ortodoxy, The Philosophy of Mulla Sadra Islamic Methodology in History yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Membuka Pintu Ijtihad; 2) Islam, Major Themes of the Quran. Islam and Modernity: Transformation of an Intellecttual Tradition, dan banyak masih banyak lagi tulisan lainnya.[6]

Buku yang terakhir ini merupakan hasil dari sebuah proyek riset yang dilaksanakan di Universitas Chicago dan dibiayai oleh Ford Foundation dalam “IslamicEducation”, yang pada mulanya merupakan bagian dari sebuah proyek lain yang lebih besar yang bernama Islam and Social Change.[7]

Dalam buku yang berjudul Islamic Methodology in History, Fazlur Rahman menjelaskan konsep pengetahuan kaum muslimin dan perkembangannya. Al-Quran sering mengemukakan perkataan ilm, kata jadiannya yang umum, dan pengertiannya sebagai pengetahuan melalui belajar, berfikir, pengalaman dan lain sebagainya. Dengan pengertian seperti inilah perkataan ilm dipergunakan pada masa Nabi. Akan tetapi setelah genarasi masa sahabat Islam mulai berkembang sebagai sebuah tradisi. Ada bukti-bukti bahwa perkataan ilm mulai dipergunakan dengan pengertian pengetahuan yang diperoleh melalui belajar, terutama sekali dari generasi lampau, sedang pelaksanaan dari pemahaman dan pemikiran terhadap materi-materi tradisional ini dinamakan fikih.[8]

Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa menurut Rahman, al-Quran berkali-kali menggunakan istilah ‘ilm, yang secara umum bermakna pengetahuan. Selanjutnya Rahman menegaskan bahwa istilah ilmu pada awalnya lebih diterima tradisionalis dari pada rasional, terutama dalam sejarah Islam. Sehubungan dengan arti kata ‘ilm ini mengarah pada sabda Nabi “Thalâbul ilm” atau menuntut ilmu. Kemudian di zaman Islam terutama dizaman modern ini perkataan tersebut dipergunakan secara umum, thalâbul‘ilm berarti proses perjalanan yang lama dan sukar dari satu tempat ke tempat lain, dari satu negeri ke negeri lain, duduk ta’zdim menghadap seorang guru tradisional dan menerima tradisi dari sang guru. Selanjutnya penggunaan istilah “pengetahuan” semakin meluas.

Pengertian pengetahuan menurut Fazlur Rahman lebih menekankan pengetahuan sebagai ilmu. Bagi Rahman pengetahuan itu adalah proses untuk sampai pada keadaan tahu. Pengetahuan itu bukan merupakan suatu cermin kenyataan pasif, melainkan sesuatu proses berkelanjutan. Oleh karena itu, pengetahuan dapat diperoleh melalui proses learningthinking atau experiencing. Mengenai karakter pengetahuan, Fazlur Rahman menjelaskan bahwa semua pengetahuan diperoleh melalui observasi dan eksperimen dan selalu berkembang dinamis.Pengetahuan tidak pernah berhenti dan stagnasi. Stagnasi dan pengulangan merupakan tanda dari matinya pengetahuan. Semua pengetahuan baik induktif maupun deduktif, selalu didasarkan pada yang mendahuluinya, dan merupakan suatu proses kreatif yang tidak pernah mengenal akhir.[9]

Dari penjelaskan di atas dapat diketahui bahwa Fazlur Rahman menempatkan indera dan akal pada posisi sentral dalam memperoleh dan mengembangkan pengetahuan. Pengetahuan yang dimaksudkan oleh Rahman itu bersifat empiris dan rasional. Pengetahuan sebagai sebuah epistemologi itu mempunyai sifat selalu berkembang, dinamis, dan berkelanjutan.

Epistemologi secara sederhana dapat diartikan sebagai salah satu cabang filsafat yang mengkaji tentang pengetahuan atau pengetahuan tentang suatu pengetahuan, dan ada kalanya disebut sebagai ‘teori pengetahuan.’[10] Selain itu, bisa juga diartikan sebagai ilmu yang membahas tentang keaslian, pengertian, struktur, metode, dan validitas ilmu pengetahuan.[11]

Dalam mengembangkan pemikirannya, Fazlur Rahman mempunyai konstruksi epistemologi yang khas. Epistemologi yang dikembangkan oleh Rahman ini meliputi: pengetahuan, karakteristik pengetahuan, klasifikasi pengetahuan, sumber dan proses memperoleh pengetahuan, kebenaran pengetahuan, serta metodologi yang dikembangkan. Hal tersebut akan dibahas tuntas di bawah ini:

Epistemologi merupakan kata gabungan yang terambil dari peristilahan Yunani episteme (pengetahuan) dan logos (pengetahuan sistematik). Sederhananya, epistemologi dapat diartikan sebagai pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Hamlyin mendefeniskan epistemologi sebagai cabang filsafat yang berkenaan dengan perolehan pengetahuan juga di dalamnya memperbincangkan pengandaian pengandaian serta dasar-dasar yang secara umum hal itu dapat diandaikan, sekaligus penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.[12]

Epistemologi Islam dapat dipahami dengan menggunakan beberapa pendekatan, yaitupertama pendekatan secara genetivus subjectivus, yaitu yang menempatkan Islam sebagai subjek, subjek di sini dijadikan titik tolak berpikir. Dari titik tolak ini epistemologi akan dijadikan sebagai bahan kajian. Pendekatan kedua, secara genetivus objectivus, yaitu yang menempatkan epistemologi sebagai subjek, sebagai titik tolak berpikir, yang membicarakan Islam sebagai objek kajian. Dari dua cara pendekatan tersebut, cara pendekatan genetivus subjectivus agaknya adalah pendekatan yang lebih tepat.[13]

Alasan yang mendasarinya adalah, pertama, epistemologi sebagai hasil pikiran manusia tidak bermaksud untuk menafsirkan Islam, tetapi tujuannya adalah bagaimana cara memperoleh pengetahuan itu, bagaimana metode pengetahuan, bagaimana hakikat pengetahuan. Dengan demikian epistemologi Islam menelaah bagaimana pengetahuan itu menurut pandangan Islam, bagaimana metodologinya, bagaimana kebenaran yang diperoleh manusia menurut pandangan Islam.

Kedua, epistemologi dijadikan pangkal berpikir, berarti membahas Islam dengan menggunakan analisis filsafat yang pada akhirnya kemungkinan akan melahirkan filsafat keagamaan Islam atau pengetahuan keagamaan Islam. Ketiga, de facto bahwa sumber pengetahuan dalam pandangan Islam secara eksplisit adalah al-Quran, sehingga kebenaran al-Quran adalah mutlak. Dengan demikian dapatlah dibuat suatu rumusan bahwa epistemologi Islam adalah usaha manusia untuk menelaah masalah-masalah objektivitas, metodologi, sumber serta validitas pengetahuan secara mendalam dengan menggunakan subjek Islam sebagai titik tolak berpikir.

Secara historis, epistemologi dapat dipilah antara yang klasik dan kontemporer. Epistemologi klasik menekankan pada aspek sumber dan ilmu pengetahuan, sedangkan epistemologi kontemporer memfokuskan bahasannya pada bagaimana proses, prosedur, dan metode yang digunakan untuk memperoleh ilmu pengetahuan.

Dalam mengembangkan pemikirannya, Fazlur Rahman mempunyai konsep epistemologi. Epistemologi yang dikembangkan oleh Rahman ini meliputi: pengetahuan, karakteristik pengetahuan, klasifikasi pengetahuan, sumber dan proses memperoleh pengetahuan, kebenaran pengetahuan, serta metodologi yang dikembangkan. Dengan kata lain, konstruksi epistemologi Fazlur Rahman mengarah pada epistemologi burhani.[14]

Pemikiran Fazlur Rahman terletak pada wilayah humanitis, lebih khusus lagi pada wilayah diskursus Islamic studies. Bahkan dapat dikatakan secara ringkas bahwa epitemologi pemikiran Fazlur Rahman mempunyai karakter pendekatan normatif-historis. Maka dari itu, dapat dikemukakan bahwa epistemologi Fazlur Rahman bersifat burhani daripada bayani atau irfani.

Menurutnya, aksioma-aksioma itu merupakan basis awal segala pengetahuan dan juga yakin bahwa pembenaran (tashdiq) mesti berpijak pada rasionalitas. Apabila dalam ‘pembenaran’ itu bersandar kepada indra lahir maka niscaya akan berujung kepada skeptisisme. Karena dalam kondisi itu, aksioma-aksioma tidaklah bermakna dan semua pengetahuan teoritis tidak akan memiliki pijakan. Ia berkeyakinan bahwa validitas argumentasi akal merupakan hal yang gamblang dan tidak butuh pada pembuktian rasional lagi.

Dalam pemahamannya, Rahman memiliki ciri khas metodologi dalam memahami fenomena atas kajiannya. Sehingga muncul karakteristik metodologi cara berfikir Fazlur Rahman dalam setiap analisis pemikirannya. Untuk itu, beberapa metodologi pemikiran Rahman akan tampak sebagi berikut:

 

1)  Metode kritik sejarah (The Critical History Method)

Metode sejarah adalah bagian terpenting cara berfikir Fazlur Rahman dalam melakukan pendekatan fenomena yang dibahasnya. Metode kritik sejarah berbeda dengan metode sosio sejarah sekalipun kedua metode tersebut sama-sama menjawab pertanyaan “mengapa?” Metode yang pertama digunakan untuk mencari jawaban atas konteks dan latar belakang peristiwa sejarah, sedangkan metode kedua (sosio sejarah) lebih berperan sebagai pengantar metode pertama. Sehingga kedua metode tersebut sebenarnya memiliki keterkaitan untuk mengupas tentang kajian sejarah.

Dalam praktiknya, metode kritik sejarah tidak menekankan pada kronologi berjalannya pendidikan di dunia Islam. Akan tetapi menekankan pada nilai-nilai yang terkandung dalam data-data sejarah pendidikan di dunia Islam. Secara spesifik metode ini diterapkan dengan cara mendeskripsikan nilai-nilai sejarah pendidikan umat Islam terutama yang terjadi di Turki, Mesir, Iran, Pakistan dan Indonesia, kemudian sesekali Fazlur Rahman Rahman melakukan komparasi di antara pendidikan di negara-negara tersebut.[15]

Dengan demikian, Fazlur Rahman mencoba memadukan berbagai pendidikan yang akan menghasilkan sintesa baru dalam kaitannya dengan pendidikan yang kekinian. Metode kritik sejarah ini lebih menekankan pada nilai-nilai yang terkandung dalam sejarah pendidikan Islam. Hal inilah yang kemudian dijadikan cara baru dalam menemukan gagasan-gagasan baru dalam pambaruan pendidikan Islam yang relevan dengan masa kini.

 

2)  Metode Penafsiran Sistematis (The Systematic Interpretation Method)

Metode kritik sejarah yang telah lama diaplikasikan dalam menuliskan pikiran-pikirannya yang tajam dan kritis, kemudian dikembangkan menjadi metode yang lebih sistematis, yang disebut dengan the systematic interpretation method.

Fazlur Rahman menjelaskan secara detail bahwa metode ini terdiri atas tiga langkah utama, yaitu: Pertama, pendekatan historis untuk menemukan makna teks al-Quran dalam bentangan karier dan perjuangan Nabi. Kedua, membedakan antara ketetapan legal dan sasaran serta tujuan al-Quran.

Ketiga, memahami dan menetapkan al-Quran dengan memperhatikan secara penuh latar belakang sosiologisnya.[16] Dengan ketiga hal itulah karakteristik Fazlur Rahman menginterpretasikan isi kandungan al-Quran agar tetap eksis dalam rentangan waktu yang panjang.

 

3)  Metode Suatu Gerakan Ganda (A Double Movement)

Suatu gerakan ganda, gerakan dari situasi sekarang ke masa al-Quran diturunkan, kemudian gerakan kembali ke masa sekarang. Metode ini bisa dilakukan dengan (1) membawa problem-problem umat (sosial) untuk dicarikan solusinya pada al-Quran; atau (2) memaknai al-Quran dalam konteksnya dan memproyeksikannya kepada situasi sekarang.[17] Dengan kata lain, Rahman mencoba memahami perlunya kontektualisasi al-Quran yang kekinian.

Mengenai pelaksanaannya, Fazlur Rahman menjelaskan bahwa momen yang kedua ini juga akan berfungsi sebagai pengoreksi hasil-hasil momen yang pertama, yaitu hasil-hasil dari pemahaman dan penafsiran. Apabila hasil-hasil dari pemahaman gagal dalam aplikasi sekarang, tentunya telah terjadi kegagalan menilai situasi sekarang dengan tepat atau kegagalan dalam memahami al-Quran. Sesuatu yang dulu bisa dan sungguh-sungguh telah terealisasikan dalam tatanan spesifik di masa lampau, tidak mungkin tidak bisa direalisasikan dalam konteks sekarang.

Dengan mempertimbangkan perbedaan tentang hal-hal spesifik dalam situasi sekarang, baik meliputi perubahan aturan-aturan dari masa lampau sesuai dengan situasi yang telah berubah di masa sekarang (asalkan pengubahan itu tidak melanggar prinsip-prinsip dan nilai-nilai umum yang berasal dari masa lampau) maupun pengubahan situasi sekarang, dimana perlu, hingga sesuai dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai umum tersebut. Kedua tugas ini mengimplikasikan ‘jihad’ intelektual, tugas kedua ini juga mengimplikasikan ‘jihad’ atau usaha moral di samping intelektual.

 

b.  Pendidikan Islam Modern dalam Epistemologi Fazlur Rahman

Pendekatan epistemologi dapat membuka kesadaran dan pengertian peserta didik untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dan diperlukan cara atau metode tertentu, sebab ia menyajikan proses pengetahuan di hadapan peserta didik dibandingkan hasilnya. Pendekatan epistemologi ini memberikan pemahaman dan keterampilan yang utuh dan tuntas.[18]

Semenjak awal, Fazlur Rahman telah menggagas pembaruan Islam guna membangun visi Islam di masa modern. Fazlur Rahman merumuskan suatu metode guna mendekonstruksi untuk kemudian merekonstruksi bangunan epistemologi Islam yang telah ada. Usaha Fazlur Rahman ini disebut dengan gerakan neo-modernisme. ‘Neo-modernisme’ Fazlur Rahman sangat banyak menyinggung persoalan metodologi, khususnya metodologi penafsiran al-Quran, karena al-Quran adalah ajaran utama dalam Islam. Untuk melacak bagaimana epistemologi dalam pemikiran Fazlur Rahman, agaknya dapat ditelusuri dari pemikiran Fazlur Rahman mengenai metodologi penafsiran al-Quran.

Konsep neo-modernisme Fazlurrahman berusaha memahami pemikiran pemikiran Islam dan barat secara padu. Karena, bagi Rahman, Islam menyimpan nilai-nilai moralitas jika dipahami secara utuh dan menyeluruh. Bukan secara parsial yang justru akan melahirkan sikap eksklusif, jumud, dan intoleran terhadap agama lain. Neo-modernisme ini memiliki karakter utama pengembangan suatu metodologi sistematis dengan melakukan rekonstuksi islam secara total dan tuntas pada akar-akar spiritualnya dan dapat menjawab kebutuhan islam modern secara cerdas dan bertanggung jawab.

Gagasan neo-modernisme Fazlurrahman di atas kemudian menginspirasi tokoh tokoh pembaharus Islam di Indonesia, baik secara langsung atau tidak langsung. Pengaruh secara langsung ialah adanya hubungan secara langsung dengan tokoh pembaharu tersebut. Pengaruh secara tidak langsung ialah dapat melalui buku, majalah, surat kabar atau yang lainnya. Adapun tokoh noe-modernisme yang ada di Indonesia ialah Harun Nasution, Mukti Ali, Norcholis Madjid, Munawir Syadzali, Dawam Raharjo, Djohan Efendi, Kuntowijoyo dan Abdurrahman Wahid.

Dalam masalah pendidikan, Rahman menulis secara khusus satu artikel yang berjudul The Qur’anic Solution of Pakistan’s Educational Problem. Disebutkan problem-problem pendidikan meliputi problem idiologis, dualism, dalam sistem pendidikan, bahasa, dan problem metode pembelajaran. Langkah-langkah Rahman dalam menerapkan metode suatu gerakan ganda akan dapat ditemukan melalui empat langkah yaitu: Langkah pertama adalah identifikasi terhadap pendidikan umat Islam ketika itu; langkah kedua adalah menemukan problem pendidikan di Pakistan; langkah ketiga adalah mencari rujukan pada al-Quran dan Hadis; dan langkah keempat berusaha memberikan alternatif solusi atas problem tersebut berdasarkan rujukan al-Quran dan Hadis.[19]

Berdasarkan identifikasi terhadap pendidikan umat Islam di Pakistan yang dilakukan oleh Fazlurrahman ketika itu, ditemukan suatu problem utama, yaitu problem ideologis. Menurut Rahman, umat Islam ketika itu gagal mengaitkan pentingnya ilmu pengetahuan dan pendidikan dengan ideologi mereka. Akibatnya umat Islam tidak termotifasi untuk belajar, apalagi untuk mengembangkan pentingnya ilmu pengetahuan. Lebih lanjut lagi umat Islam tertinggal bahkan tidak sedikit ditemukan yang buta huruf. Setelah ditemukan problemnya baru dicarikan rujukannya pada al-Quran dan Hadis. Rahman menyebutkan beberapa ayat dari awal surat al-Alaq yang memerintahkan umat Islam untuk membaca. Selanjutnya dalam surah Thaha ayat 114 yaitu ketika Allah memerintahkan Rasulullah untuk memohon tambahan ilmu Pengetahuan, dan surat al-Isra Ayat 36 Allah melarang umat Islam mengikuti sesuatu yang tidak diketahui ilmunya. Rahman juga menyebut suatu Hadis yang menyuruh Umat Islam untuk menuntut ilmu walaupun sampai ke negeri Cina. Selanjutnya ayat-ayat al-Quran dan Hadis tersebut dipakai sebagai rujukan untuk mengingatkan umat Islam tentang pentingnya belajar dan mengembangkan ilmu pengetahuan.[20] Dengan cara demikian diharapkan problem ideologi umat Islam dapat teratasi.

Problem kedua, dapat ditunjukkan pada upaya Rahman dalam menyelesaikan problem dikotomi ilmu dalam kaitannya dengan dualisme sistem pendidikan umat Islam. Mengenai problem kedua menjelaskan.Yang terkait erat dengan pertama adalah bencana besar umat Islam dengan adanya dualisme, dikotomi dalam sistem pendidikan. Pada satu sisi disebut dengan sistem pendidikan “ulama” yang dilaksanakan di madrasah. Begitu tertinggal sehingga sekarang hasilnya betul-betul mengecewakan.

Produk dari sistem ini, menurut Rahman, tidak dapat hidup di dunia modern dan tidak bisa mengikuti perkembangan zaman. Kurikulum dan silabinya harus diubah secara ‘radikal’ dan mendasar agar dapat bersaing dalam kehidupan modern. Prinsip-prinsip dasar ilmu sosial, world view sains modern dan pengantar sejarah dunia, bersama-sama dengan ilmu-ilmu humaniora modern, harus dimasukkan pada silabi untuk menambah disiplin-disiplin spesialis agama. Namun, penting juga dipahami tentang kenyataan bahwa sistem pendidikan modern masyarakat Islam yang dilaksanakan di universitas-universitas telah berkembang sama sekali tanpa menyentuh idiologi dan nilai-nilai sosial serta budaya Islam.[21]

Lebih lanjut Fazlur Rahman menjelaskan akibat dari kondisi ini, yakni pencarian pengetahuan umat Islam secara umum sia-sia, pasif dan tidak kreatif. Sistem madrasah yang tidak asli dan tidak kreatif itu menjadi paten. Namun sayang sistem pendidikan modern di dunia Islam pun juga begitu.

Sekarang umat Islam sedang berda pada abad pendidikan modern, dan cara belajar mereka belum mampu menambah nilai orisinalitas dan investasi nilai ilmu pengetahuan kemanusiaan. Terutama pada ilmu humaniora dan ilmu-ilmu sosial, kualitas sarjana muslim betul-betul rendah. Jika umat Islam tidak menghasilkan pemikir yang berkualitas bagus dalam humaniora dan ilmu-ilmu sosial, mereka tidak dapat berharap mampu memberikan kontribusi yang berharga sekalipun pada ilmu-ilmu murni. Karena itu, ilmu-ilmu murni tidak dapat ditanamkan pada ruangan kosong dan terpisah dari ilmu-ilmu yang lain.

Sebagaimana diketahui bahwa telah lama terjadi dikotomi ilmu yang akut di kalangan umat Islam, yaitu ilmu-ilmu agama Islam (tradisional) dan ilmu-ilmu umum (sekuler). Untuk mengatasi problem ini dilakukan dengan kembali kepada konsep dasar ajaran Islam bahwa Islam tidak mendikotomikan antara dunia dan akhirat. Bahkan dunia merupakan ladang penanaman untuk akhirat.

Dalam konteks ini, umat Islam dituntun agar selau berdoa untuk memperoleh kebaikan di dunia dan akhirat. Manusia diciptakan untuk menghambakan diri kepada Allah sekaligus sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Setelah problem tersebut dicarikan rujukannya pada ajaran Islam, langkah selanjutnya adalah upaya mengembangkan ilmu non dikotomi dan lembaga pendidikan non dualisme. Untuk upaya ini Rahman memberikan alternatif solusi dengan menerima pendidikan sekuler modern sebagaimana telah berkembang secara umum di Barat dan mencoba untuk mengislamkannya.

Pendekatan ini memiliki dua tujuan walaupun keduanya tidak selalu bisa dibedakan satu dari yang lain. Dua tujuan ini adalah pertama membentuk watak pelajar-pelajar dengan nilai Islam dalam kehidupan individu dan masyarakat. Kedua memungkinkan para ahli yang berpendidikan modern untuk menanamkan bidang kajian masing-masing dengan nilai-nilai Islam pada perangkat-perangkat yang lebih tinggi dengan menggunakan Perspektif Islam.

Mengenai problem ketiga, Rahman menjelaskan terkait dengan itu ada problem lain yang sama pentingnya, yaitu problem bahasa. Problem bahasa selalu terkait dengan pendidikan tinggi dan pemikiran. Kita ini diibaratkan sebagai masyarakat muslim tanpa bahasa. Pada hal konsep-konsep murni tidak pernah muncul dalam pikiran kecuali di ahirkan dengan kata-kata (bahasa). Jika tidak ada kata-kata (karena tidak ada bahasa yang memadai ), konsep-konsep yang bermutu tidak akan muncul. Akibatnya, peniruan dan pengulangan seperti halnya burung beo adalah bukan pemikiran orisinal. Kontroversi bahasa yang sering dikemukakan, hendaknya dipisahkan dari emosionalisme politik, dan umat Islam sekarang harus mengembangkan satu bahasa secara memadai dan cepat karena mereka berpacu dengan waktu. Kemajuan dunia tidak akan berhenti menanti mereka, dan tidak memiliki alasan husus untuk memaklumi ketinggalan mereka.[22]

Menyadari betapa pentingnya bahasa dalam pendidikan dan sebagai alat untuk mengeluarkan pendapat-pendapat yang orisinil. Menurut Rahman, umat Islam lemah di bidang bahasa. Bahkan ia katakan umat Islam adalah masyarakat tanpa bahasa. Sayangnya, sebagian mereka berasal dari warisan sistem pendidikan madrasah. Selama beberapa abad lalu, pendidikan Madrasah cenderung berkonsentrasi pada buku-buku dari pada subjek. Anak-anak diajari belajar dengan menghafal, bukan mengolah pikiran secara kreatif. Sehubungan dengan praktik ini, pertumbuhan konsep pengetahuan menjadi rusak. Pengetahuan bukan merupakan sesuatu yang kreatif melainkan sesuatu yang diperoleh. Konsep ini secara diametri telah bertentangan dengan pandangan pengetahuan sebagai sesuatu pertumbuhan yang terus menerus dianjurkan oleh al-Quran. Tragedi ini terjadi juga pada lembaga-lembaga pendidikan modern Islam, yaitu belajar dengan menghafal secara besar besaran dipraktikkan dan pengajaran buku-buku teks serta pelaksanaan ujian secara terus menerus memprihatinkan.

Seseorang yang mengetahui proses sesuatu kegiatan pasti mengetahui hasilnya. Sebaliknya, banyak yang mengetahui hasilnya tetapi tidak mengetahui prosesnya. Berbeda peserta didik yang hanya diberikan roti kemudian dia menikmatinya, dengan siswa yang diajak untuk membuat roti, kemudian menikmatinya. Tentunya pengetahuan peserta didik yang mengetahui proses pembuatan roti sampai menikmati itu lebih utuh, kokoh, dan berkesan. Oleh karena itu, bangunan epistemologi dalam pendidikan Islam menjadi suatu pembahasan yang penting untuk ditelaah.

Pemikiran Fazlur Rahman dibangun atas dasar pemahamannya yang mendalam tentang khazanahi intelektual Islam masa klasik untuk ditemukan spiritnya guna memecahkani berbagai problematika kehidupan modern. Melalui kajian yang dilakukan terhadap berbagai literatur klasik, Fazlur Rahman memperkenalkan pemikiran dan gagasannya tentang pembaharuan pendidikan, termasuk pendidikan Islam modern.

Fazlur Rahman sebagai seorang neo-modernis berusaha untuk memberikan alternatif pemecahan terhadap masalah-masalah umat, termasuk masalah krisis pemikiran, masalah dikotomi ilmu dan masalah dualisme dalam sistem pendidikan. Karena hal-hal tersebut di atas, integrasi ilmu dalam Islam merupakan keniscayaan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Hal ini sifatnyta sangat mendesak kalau tidak ingin peradaban Islam selalu terbelakang. Upaya integrasi ilmu dalam Islam dimulai dari lahirnya gagasan ‘Islamisasi Pengetahuan’. Upaya ini dipelopori oleh Ismail Raji al-Faruqi. Fazlur Rahman lebih cenderung mengembangkan ilmuwan-ilmuwan Muslim dari pada Islamisasi Ilmu pengetahuan. Cara ini dilakukan oleh Fazlur Rahman dengan memilih ahli-ahli Islam muda yang potensial dengan mengajarkannya kepada mereka metodologi barat modern. Cara yang ditempuh Rahman ini cukup efektif untuk mencetak sumber daya manusia Muslim yang handal.

Selanjutnya, menurut Rahman, pengembangan pengetahuan tidak pernah mengenal akhir. Berakhirnya pengembangan pengetahuan sama dengan matinya ilmu pengetahuan. Padahal kematian pengetahuan akan mengakibatkan mundurnya sebuah peradaban. Oleh karena itu, Rahman bermaksud mengingatkan umat Islam akan pentingnya mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan baik secara deduktif maupun induktif.

Karakter pengetahuan itu selalu berkembang, namun antara satu dan yang lainnya merupakan sebuah kesatuan organik. Fragmentasi ilmu (pengetahuan), sekalipun perlu untuk kerja spesialis dan penelitian pada bidang tertentu, namun hal tersebut bukan merupakan tujuan akhir dari proses ilmu. Spesialisasi dan penelitian terpisah sekedar menjadi tangga untuk memberikan data-data baru dalam menunjang kemajuan ilmu pengetahuan. Meskipun pada setiap tangga tentunya ada kreativitas berpikir yang berhasil membantu kekuatan pikiran yang dapat mengintegrasikan berbagai ilmu ke dalam kesatuan gambar yang utuh.[23]

Pemaparan di atas menunjukkan bahwa Rahman berusaha mengingatkan umat Islam agar tidak terjebak dalam fragmentasi ilmu pengetahuan. Fragmentasi harus dihindari karena ilmu pengetahuan merupakan suatu kesatuan organik. Fragmentasi pengetahuan juga akan mengakibatkan terjadinya split personality pada diri seseorang. Sebaliknya, apabila kita dapat terhindar dari fragmentasi, maka akan terbentuk suatu pribadi yang terintegrasi. Oleh karena itu, fragmentasi tidak diperbolehkan, yang diperbolehkan adalah usaha pengembangan menuju spesialisasi ilmu pengetahuan untuk meningkatkan kualitasnya.

Masalah metode adalah persoalan yang sangat penting dalam pemikiran Fazlur Rahman, terutama dalam neo-modernismenya. Hampir sepanjang karir intelektualnya, Fazlur Rahman telah mengabdikannya untuk merumuskan metodologi sistematis dan komprehensif untuk menjawab tantangan sekaligus mensosialisasikan ajaran-ajaran al-Quran dalam ranah realitas praktis kehidupan umat Islam. Usaha Fazlur Rahman inilah yang membedakannya dengan para pembaru Islam lainnya, yang dikategorikan kepada modernisme klasik.

Rumusan lebih lanjut terdapat dalam tulisannya Toward Reformulating the Methodology of Islamic Law: Shaikh Yamani on Public Interest in Islamic Law, yang ditulis oleh Fazlur Rahman pada tahun 1979. Artikel ini kemudian diterjemahkan “Ke Arah Perumusan Metodologi Hukum Islam: Syaikh Yamani tentang Kepentingan Umum dalam Hukum Islam” oleh Taufiq Adnan Amal. Pada tulisan ini Fazlur Rahman menawarkan metode dalam bentuk dua gerakan (double movement). Pertama, dari khusus (partikular) kepada yang umum (general), dan kedua dari yang umum kepada khusus.

Sebagai suatu tahapan evolusi pemikiran Fazlur Rahman, maka dapat dilihat bahwa gerakan pertama tidak lain adalah prosedur tiga langkah dalam rumusan awal yang telah diuraikan di atas. Adapun gerakan kedua adalah penerapan prinsip-prinsip yang diperoleh dari gerakan pertama ke dalam realitas kehidupan umat Islam dewasa ini. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa kedua gerakan ini merupakan komponen konteks kekinian yang belum tersentuh pada rumusan awal.

Dua gerakan di atas kemudian muncul kembali sekaligus dimatangkan dalam tulisan Fazlur Rahman dalam bukunya Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, yang terbit pada tahun 1982. Langkah pertama dari gerakan pertama teori double movement ini adalah, seseorang harus memahami arti atau makna dari suatu pernyataan tertentu dengan mempelajari situasi dan problem setting historis pernyataan tersebut merupakan jawabannya. Jadi langkah ini merupakan upaya memahami al-Quran secara utuh maupun dalam batasan-batasan ajaran-ajaran spesifik yang merupakan respon terhadap situasi spesifik.

Langkah kedua adalah menggeneralisasikan jawaban-jawaban spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral-sosial dan rationes legis yang sering dinyatakan. Gerakan kedua dilakukan mulai dari pandangan umum ini ke pandangan spesifik yang harus dirumuskan dan direalisasikan sekarang. Artinya ajaran-ajaran yang bersifat umum harus ditubuhkan (embodied) dalam konteks sosio-historis yang kongkrit di masa sekarang.

Ini sekali lagi memerlukan kajian yang cermat atas situasi sekarang dan analisis berbagai unsur-unsur komponennya sehingga menilai situasi sekarang dan mengubahnya sejauh yang diperlukan dan menentukan prioritas-prioritas baru untuk mengimplementaikan nilai-nilai al-Quran secara baru juga, termasuk dalam upaya pengembangan pendidikan Islam saat ini. Sejauh lingkup kemampuan untuk mencapai kedua momen dari gerakan ganda ini berhasil, perintah-perintah al-Quran akan menjadi hidup dan efektif kembali.

Berpijak dari pemikiran neomodernisme yang ditawarkannya, maka bangunan yang ada di dalamnyajuga bisa dimengerti apa yang diinginkanoleh Fazlur Rahman, hal ini tentunya termasuk dalam aspek pendidikan. Pendidikan yang menyelimuti pandangan neo-modernisme adalah dua model: tradisional dan modern. Kedua model pendidikan ini mempunyai karakter yang berbeda. Satu sisi menganut pada model warisan lama, pada sisi lain hendak membangun gaya pendidikan baru. Namun substansi kedua pendidikan itutetap mempunyai tujuan untuk memberdayakan manusia (empowerment).

Perbedaan yang sangat mencolok adalah soal metode dan teknis operasionalnya saja. Tradisi memakai teknis lama yang diatur secara sederhana, sedangkan modern lebih berkiblat pada sesuatuyang baru dan rumit. Rancangan pendidikan tradisional mempunyai harapan besar akan pelestarian budaya lama. Karena warisan masa lalu sangatlah berarti sekali bagi pengembangan di masa mendatang. Bukan berarti bahwa pendidikan tradisional hendak melakukan upaya pencegahan kultur baru, tetapi ia lebih selektif dalam menerima kondisi baru sehingga untuk memasukkannya harus melewati proses filterisasi.

Dengan demikian, pendidikan tradisional mencoba untuk mengarahkan pada garis transfer of knowledge. Artinya, sebuah proses pendidikan yang difokuskan pada bentuk pemberdayaan sistemik dan belum memberikan keleluasaan pada peserta didik. Segala hal yang menyangkut kebijakan masih menjadi otoritas lembaga. Selain itu, pendidikan tradisional tetap berpegang teguh pada buku pegangan yang juga dibuat oleh lembaga. Dan jelas sekali, bahwa rangkaian pendidikan tradisional ini tidak akan mampu mendorong peserta didik untuk aktif sebab yang terjadi banyak sekali perlakuan indoktrinasi.

Pandangan dasar tentang pembaharuan pendidikan serta upaya-upaya yang dilakukan Fazlur Rahman adalah pembacaan kritis atas realitas yang terjadi dalam pendidikan Islam saat ini, sehingga ide-idenyapun banyak diadopsi di berbagai negara Islam termasuk Indonesia.

Kaitannya dengan konsep pendidikan Islam, Fazlur Rahman membeikan landasan epistimologinya dengan ide konsep neo-modernisme. Berpijak dari konsep ini Fazlur Rahman mempunyai gagasan tersendiri tentang Pendidikan Islam, yaitu:

1)    Tujuan Pendidikan Islam

Bagi Rahman, tujuan pendidikan Islam diformat untuk mewujudkan tatanan muslim yang beradab dan konsisten kepada Tuhan. Ini semua diambil dalam rangka menelaah kembali hakikat pewahyuan al-Quran. Ia menjelaskan: Bukanlah tempatnya di sini untuk memperinci teori tentang wahyu Qurani secara mendetil. Tetapi kalau kita mau berurusan dengan faktual al-Quran tentang dirinya sendiri memerlukan pembatasan secukupnya.

Dalam garis besar singkat berikut, dilakukan usaha untuk bertindak adil, baik terhadap tuntutan sejarah maupun tuntutan Islam sendiri.Semangat dasar dari al-Quran adalah semangat moral, dari mana ia menekankan monotheisme serta keadilan sosial. Hukum moral adalah abadi, ia adalah perintah Allah. Manusia tak dapat membuat atau memusnahkan hukum moral; ia harus menyerahkan diri kepadanya. Penyerahan ini dinamakan Islam dan implementasinya dalam kehidupan disebut ibadah atau ’pengabdian kepada Allah’. Karena penekanan al-Qur’an terhadap hukum moral-lah hingga Allah menurunkan al-Quran.

Dengan tegas Fazlur Rahman menyatakan tujuan pendidikanIslam adalah untuk menanamkan komitmen-komitmen nilai melalui tarbiyah (pendidikan moral) dan mengkomunikasikan pengetahuan ilmiah melalui ta’lim (pengajaran).” Hal tersebut dititik beratkan pada penilaian perkembangan psikologis-intelektual yang menghasilkan tuntutan-tuntutan bagi suatu sistem pendidikan yang bersifat modern tapi pada waktu yang sama juga dijiwai oleh nilai-nilai nasional-Islam, apakah nasional di sini dilihat sebagai bagian dari tujuan Islam ataukah yang Islami dipandang sebagai bagian dari nasionalisme.

Menimbang persoalan yang tidak sejalan dan dianggapnya kurang tepat dengan pemikiran Fazlur Rahman. Menurutnya, tujuan pendidikan Islam sebagaimana dikutip oleh Muhaimin tujuan pendidikan Islam yang bersifat defensif dan hanya berorientasi pada kehidupan akhirat tersebut harus segera diubah; yaitu harus diorientasikan kepada kehidupan dunia dan akhirat sekaligus bersumber pada al-Quran.[24] Dengan demikian, perpaduan ilmu pengetahuan yang tidak saling memisahkan akan saling melengkapi baik ilmu agama maupun ilmu pengetahuan umum (science).

Melihat pemaparan tersebut, maka bisa disimpulkan bahwa Fazlul Rahman memiliki corak pemahaman tentang tujuan pendidikan islam, yaitu tujuan pendidikan Islam yang diarahkan pada optimalisasi kemampuan dan potensi manusia melalui pemahaman ilmu pengatahuan yang bersinergi dan tidak terpisahkan baik ranah ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum, sehingga akan menghasilkan temuan-temuan dari alam yang dapat berguna bagi manusia yang lainnya. Selain ia juga mengarahkan pada penanaman moral pada peserta didik yang berdasarkan nilai-nilai moral Islam.

 

2)    Metode Pembelajaran yang Diterapkan

Fazlur Rahman menyebutkan bahwa metode pendidikan Islam berkaitan erat dengan teknis pengajaran yang melibatkan komunikasi murid dan guru. Fazlur Rahman menambahkan bahwa murid melewati kelas demi kelas dengan menyelesaikan satu mata pelajaran dan memulai lagi satu mata pelajaran lain yang “lebih tinggi”.

Sistem ini menurut Fazlur Rahman tidak memberikan banyak waktu untuk setiap materi pembelajaran. Tetapi ini juga bukanlah satu-satunya metode yang dipakai, seringkali seorang murid dengan suatu ringkasan dalam sebuah materi pembelajaran di kelas, dan selanjutnya ia mempelajari pembelajaran yang sama dengan detail-detail yang lebih terperinci dan disertai komentar-komentar.

Fazlur Rahman menegaskan bahwa tugas guru adalah mengajarkan komentar-komentar orang lain, disamping teks aslinya dan biasanya tanpa menyertakan komentarnya sendiri dalam pembelajaran tersebut. Metode yang seperti ini masih tergolong sebagai metode yang konvensional yang tentunya tidak akan memberikan ruang gerak yang cukup luas bagi peserta didik. Selain itu pula cara Islam mendidik tetap berpegang pada garis pendewasaan anak didik, sebagaimana Rasulullah Saw. mendidik umatnya.

Fazlur Rahman menyinggung metode pendidikan di beberapa model lembaga pendidikan. Misalnya dia menengok halaqahzawiyah, madrasah dan juga perguruan tinggi. Cara untuk mendewasakan peserta didik tidak hanya difokuskan pada seorang guru saja. Tetapi peserta didik hendaknya berperan aktif dalam forum-forum pendidikan. Maka ketika seorang guru hanya memberikan syarah (penjelasan) kitab ketika mengajarkan materi tafsir, bagi Fazlur Rahman dianggap kurang begitu mendewasakan Islam. Dengan ini pula, nampak bahwa Islam belum mampu mengembangkan model pedagogik. Nilai dari tujuan pendidikan Islam juga tidak akan tercapai kalau dalam melakukan metode pendidikan Islam saja, seorang pendidik salah metodenya.

Model pendidikan yang ditawarkan oleh Fazlur Rahman disebut juga dengan demokratisasi dalam pendidikan Islam, dan ini merupakan salah satu gagasan revolusioner dalam pendidikan Islam. Dengan menghargai yang dibawa oleh peserta didik. Penerapan demokratisasi pendidikan yang ditawarkan oleh Fazlur Rahman dimaksudkan untuk memberi kebebasan kepada para anak didik untuk dapat mengembangkan kreatifitasnya dalam pendidikan ke arah yang positif dalam pengembangan kognitif, afektif dan psikomotoriknya.

Fazlur Rahman menilai materi pembelajaran yang menjadi kurikulum pendidikan Islam membutuhkan rekonstruksi, terlebih ketika ia melihat kondisi pendidikan tradisional yang masih terlalu harmonis (baca: kaku) dengan tatanannya sendiri. Belum lagi mereka masih terlalu menutup diri dengan lingkungan sekitarnya. Sehingga yang terjadi adalah kemandegan pengetahuan.

Selain itu, intelektualisme Islam juga cenderung macet. Kecenderungan model inilah yang menjadikan Fazlur Rahman mengkritisi kurikulum pendidikan Islam. Ia mengatakan: Dengan menyempitnya lapangan ilmu pengetahuan umum melalui tiadanya pemikiran umum dan sains-sains kealaman, maka kurikulum dengan sendirinya menjadi terbatas pada ilmu-ilmu keagamaan murni dengan gramatika dan kesusastraan sebagai alat-alatnya yang memang diperlukan.

Hadits, fiqh, kalam dan tafsir yang menjadi sentral materi kurikulum tidak mampu memberikan jawaban yang utuh tentang Islam kalau hanya diajarkan dengan buku-buku komentar (hasyiyah) saja. Keterbatasan kurikulum seharusnya ditata dan ditambahkan dengan materi ajar yang lain. Sehingga ada perpaduan antara pemikiran keagamaan dan sains umum, misalnya dengan tambahan gramatika, kesusastraan dan lainnya.

Metode integrasi seperti yang ditawarkan oleh Rahman itulah yang pernah diterapkan pada masa keemasan Islam. Pada masa itu ilmu dipelajari secara utuh dan seimbang antara ilmu-ilmu yang diperlukan untuk mencapai kesejahteraan di dunia (ilmu-ilmu umum) maupun ilmu-ilmu untuk mencapai kebahagiaan di akhirat (ilmu-ilmu agama). Pendekatan integralistik seperti itu, yang melihat adanya hubungan fungsional antara ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama, telah berhasil melahirkan ulama-ulama yang memiliki pikiran-pikiran yang kreatif dan terpadu serta memiliki pengetahuan luas dan mendalam.

Berdasarkan paparan di atas dapat diketahui bahwa sumbangan pemikiran Fazlur Rahman tentang integrasi ilmu pengetahuan agama dan umum relevan dengan dunia pendidikan modern yang berkembang saat ini. Terbukti dengan adanya lembaga pendidikan Islam terpadu pada tingkat dasar, menengah hingga adanya transformasi berbagai perguruan tinggi menuju ke tahap Universitas sebagai solusi mengawinkan ilmu pengetahuan umum dan agama secara holistik.

 

C.  Penutup (Analisis dan Kesimpulan)

Menurut Fazlurrahman, Pembaruan Islam dalam bentuk apa pun yang berorientasi pada realisasi weltanschuung Islam yang asli dan modern harus bermula dari pendidikan. Dengan demikian epistemologi pendidikan Islam harus dijadikan sebagai salah satu tema sentral dari agenda rekonstuksi pemikiran ke depan. Sebab ia merupakan ‘jantung’ yang berdenyut memompakan spririt pembaruan keseluruh bagian tubuh bangunan pemikiran Islam, agar mampu tumbuh berkembang secara dinamis progresif.

Fazlur Rahman sebagai tokoh pembaharu Islam mempunyai gambaran tentang perjalanan sejarah pendidikan. Ia pun turut serta dalam melihat fenomena kegagalan pemaknaan al-Quran dan Sunnah oleh umat Islam. Ia berhasil mengembangkan suatu konstruksi epistemologi yang dapat memberi alternatif solusi atas problema umat Islam kontemporer, khususnya pendidikan Islam di era modern.

Berawal dari pandangan yang demikian, Fazlur Rahman menekankan pentingnya etika yang dipetik dari al-Quran untuk dijadikan fundamen pengembangan pemikiran dan praktik pedidikan. Rahman juga berpartisipasi dalam memformat strategi, tujuan, metode dan kurikulum pendidikan Islam yang up to date dari konsep neo-modernisme.

Sumbangan terbesar Fazlur Rahman bagi umat Islam adalah perombakan konsepsi umat Islam tentang epistemologi yang telah membuat pemikiran umat Islam rigid, puritan, dan dikotomis dalam memecahkan persoalan yang mengakibatkan umat Islam sulit untuk berpikir sintesis, elastis, dan pragmatis. Fazlur Rahman telah memberikan alternatif berpikir bagi kaum muslimin.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abed, Muhammad. 2000. Post Tradisionalisme Islam. Yogyakarta: LKiS.

Abdullah, M. Amin. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Al-Jabiri, Muhammad Abid. t.t. Bunyah al-Aql al-Arabi. Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-Arabiyah.

A’la, Abdul. 2009. Dari Neomodernisme ke Islam Liberal. Jakarta: Dian Rakyat Paramadina.

Amal, Taufik Adnan. 1992. Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman. Bandung: Mizan.

Arif, Mahmud. 2008. Pendidikan Islam Transformatif. Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara.

Aziz, Ahmad Amir. 1999. Neo-Modernisme Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Azra, Azyumardi. 1999. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu.

Bagus, Lorens. 1996. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Esposito, John L. 1995. The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World. New York: Oxford University Press.

Freire, Paulo. 2003. Pendidikan Masyarakat Kota. Yogyakarta: LKiS.

Hadi, Protasius Hardono. 1994. Epistemologi Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta: PT. Kanisius.

Hamlyn, D.W., 1967. History of Epistemology. Dalam Paul Edwards The Encyclopedia of Phylosophy. Newyork: Macmillan Publishing Co Inc.

H.A.R., Tilaar. 1998. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21. Magelang: Tera Indonesia.

Hidayatullah, S. 2000. Intelektualisme dalam Perspektif Neo-Modernisme. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Husaini, Adian et al. 2013. Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam. Jakarta: Gema Insani.

Idi, Abdullah. 2011. Sosiologi Pendidikan Individu, Masyarakat dan Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.

Kurdi. 2010. Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis. Yogyakarta: elSAQ Press.

Madjid, Nurcholish. 2005. Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern: Respon dan Transformasi Nilai-Nilai Islam Menuju masyarakat Madani. Jakarta: Mediacita.

Mas’adi, Ghufron A. 1997. Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Moleong, Lexy J. 2018. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Moosa, Ebrahim. 2009. Fazlur Rahman: Major Themes of the Quran. Chicago: The University of Chicago Press.

Muhadjir, Noeng. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi IV. Yogyakarta: Rake Sarasin.

Muhaimin, 1999. Kontroversi Pemikiran Fazlur Rahman: Studi Kritis Pembaharuan Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Dinamika.

Rahman, Fazlur. 2000. Revival and Reform in Islam: A Study of Islamic Fundamentalism. Oxford: Oneworld Publications.

Rahman, Fazlur. 2000. Gelombang perubahan dalam Islam: Studi tentang Fundamentalisme Islam. Penerjemah Aam Fahmia. Jakarta: Rajawali Grafindo Persada.

Rahman, Fazlur. 1990. Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam. Disunting oleh Taufik Adnan Amal. Bandung: Mizan.

Rahman, Fazlur. 1982. Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. London: Chicago: The University of Chicago Press.

Rahman, Fazlur. 1976. The Qur’anic Solution of Pakistan’s Educational Problem. JSTOR Islamic Studies Vo. 6 No. 4. Islamabad: International Islamic University.

Rahman, Fazlur Rahman. 1970. Islamic Modernism: Its Scope, Method and Alternatives: JSTOR Middle East Study, Vol. 1 No. 4.

Ridla, Muhammad Jawwad. 2002. Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam: Perspektif Sosiologis-Filosofis. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Shimogaki, Kazuo. 1994. Between Modernity and Post-modernity. American Journal of Islamic Social Sciences Vol. 11 No. 3.

Supriyatno, Triyo. 2011. Epistemologi Pendidikan Islam. Malang: Maliki Press.

Sutrisno. 2006. Fazlur Rahman: Kajian terhadap Metode, Epistemologi dan Sistem Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tafsir, Ahmad. 1992. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya.

 

 

[1] Adian Husaini et al., Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam (Jakarta: Gema Insani, 2013), hlm. 49.

[2] Abdullah Idi, Sosiologi Pendidikan Individu, Masyarakat dan Pendidikan (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 32.

[3] Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Rosdakarya, 2002), hlm. 164.

[4] Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000), hlm. 47.

[5] Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Rosdakarya, 2002), hlm. 163.

[6] Ghufron A. Mas’adi, Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 19-20.

[7] Sutrisno, Fazlur Rahman: Kajian terhadap Metode, Epistemologi dan Sistem Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 79.

[8] Ibid., hlm. 93.

[9] Ibid., hlm. 95.

[10] Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), hlm. 212.

[11] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernitas Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 114.

[12] D.W. Hamlyn. 1967. History of Epistemology. Dalam Paul Edwards The Encyclopedia of Phylosophy (Newyork: Macmillan Publishing Co Inc.), hlm. 8

[13] M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 10.

[14] Epistemologi burhani adalah kerangka berfikir yang tidak didasarakan atas teks suci maupun pengalaman spritual melainkan berdasarkan keruntutan logika. Menurut al-Jabiri, epistemologi burhani merupakan cara berpikir masyarakat Arab yang bertumpu pada kekuatan natural manusia, yaitu pengalaman empirik dan penilaian akal, dalam mendapatkan pengetahuan tentang segala sesuatu. Sebuah pengetahuan bertumpu pada hubungan sebab akibat. Lihat Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi, (Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-Arabiyah), hlm. 18.

[15] Sutrisno, Fazlur Rahman: Kajian terhadap Metode, Epistemologi dan Sistem Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 60.

[16] Ibid., hlm. 122.

[17] Ibid., hlm. 130.

[18] Triyo Supriyatno, Epistemologi Pendidikan Islam (Malang: Maliki Press, 2011), hlm. 6.

[19] Fazlur Rahman, Islamic Modernism: Its Scope, Method and Alternatives (JSTOR Middle East Study, 1970) Vol. 1 No. 4, hlm.. 327-328.

[20] Fazlur Rahman, The Qur’anic Solution of Pakistan’s Educational Problem (JSTOR Islamic Studies Vo. 6 No. 4. Islamabad: International Islamic University 1976), hlm. 15.

[21] Ibid. Dalam Sutrisno, Fazlur Rahman: Kajian terhadap Metode, Epistemologi dan Sistem Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 174.

[22] Ibid., hlm. 175.

[23] Fazlur Rahman, The Qur’anic Solution of Pakistan’s Educational Problem (JSTOR Islamic Studies Vo. 6 No. 4. Islamabad: International Islamic University 1976), hlm. 18.

[24] Muhaimin, Kontroversi Pemikiran Fazlur Rahman: Studi Kritis Pembaharuan Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Dinamika, 1999), hlm. 105.

References

A’la, Abdul. (2009). Dari Neomodernisme ke Islam Liberal. Jakarta: Dian Rakyat Paramadina.
Abdullah, M. Amin. (2005) Studi Agama: Normativitas atau Historisitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Al-Jabiri, Muhammad Abed. (1986). Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi: Dirasâh Taliliyyah Naqdiyyah li Nadzm al-Ma’rifah fi al-Saqâfah al-‘Arâbiyyah. Beirut: Markaz Dirasat Al-Wihdah Al-Murabiyyah.
Al-Jabiri, Muhammad Abed. (2000). Post Tradisionalisme Islam. Yogyakarta: LKiS.
Al-Jabiri, Muhammad Abid. (t.t.). Bunyah al-Aql al-Arabi. Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-Arabiyah.
Amal, Taufik Adnan. (1992). Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman. Bandung: Mizan.
Arif, Mahmud. 2008. Pendidikan Islam Transformatif. Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara.
Aziz, Ahmad Amir. (1999). Neo-Modernisme Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Azra, Azyumardi. (1999). Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu.
Bagus, Lorens. (1996). Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Esposito, John L. (1995). The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World. New York: Oxford University Press.
Freire, Paulo. (2003). Pendidikan Masyarakat Kota. Yogyakarta: LKiS.
Hadi, Protasius Hardono. (1994). Epistemologi Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta: PT. Kanisius.
Hamlyn, D.W., (1967). History of Epistemology. Dalam Paul Edwards The Encyclopedia of Phylosophy. Newyork: Macmillan Publishing Co Inc.
Hidayatullah, S. (2000). Intelektualisme dalam Perspektif Neo-Modernisme. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Husaini, Adian et al. (2013). Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam. Jakarta: Gema Insani.
Idi, Abdullah. (2011). Sosiologi Pendidikan Individu, Masyarakat dan Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.
Kurdi. (2010). Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis. Yogyakarta: elSAQ Press.
Madjid, Nurcholish. (2005). Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern: Respon dan Transformasi Nilai-Nilai Islam Menuju masyarakat Madani. Jakarta: Mediacita.
Mas’adi, Ghufron A. (1997). Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Moosa, Ebrahim. (2009). Fazlur Rahman: Major Themes of the Quran. Chicago: The University of Chicago Press.
Muhadjir, Noeng. (2000). Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi IV. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Muhaimin. (1999). Kontroversi Pemikiran Fazlur Rahman: Studi Kritis Pembaharuan Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Dinamika.
Rahman, Fazlur Rahman. (1970). Islamic Modernism: Its Scope, Method and Alternatives: JSTOR Middle East Study, Vol. 1 No. 4.
Rahman, Fazlur. (1976). The Qur’anic Solution of Pakistan’s Educational Problem. JSTOR Islamic Studies Vo. 6 No. 4. Islamabad: International Islamic University.
Rahman, Fazlur. (1982). Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. London: Chicago: The University of Chicago Press.
Rahman, Fazlur. (1990). Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam. Disunting oleh Taufik Adnan Amal. Bandung: Mizan.
Rahman, Fazlur. (2000). Gelombang perubahan dalam Islam: Studi tentang Fundamentalisme Islam. Penerjemah Aam Fahmia. Jakarta: Rajawali Grafindo Persada.
Rahman, Fazlur. (2000). Revival and Reform in Islam: A Study of Islamic Fundamentalism. Oxford: Oneworld Publications.
Ridla, Muhammad Jawwad. (2002). Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam: Perspektif Sosiologis-Filosofis. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Shimogaki, Kazuo. (1994). Between Modernity and Post-modernity. American Journal of Islamic Social Sciences Vol. 11 No. 3.
Supriyatno, Triyo. (2011). Epistemologi Pendidikan Islam. Malang: Maliki Press.
Sutrisno. (2006). Fazlur Rahman: Kajian terhadap Metode, Epistemologi dan Sistem Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tafsir, Ahmad. (1992). Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Tilaar, H.A.R.,. (1998). Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21. Magelang: Tera Indonesia.
Published
2023-06-12
How to Cite
HABIBI, Hasbi. Epistemologi Fazlur Rahman dan Relevansinya dengan Model Pendidikan Pesantren Kontemporer. Bestari | Jurnal Studi Pendidikan Islam, [S.l.], v. 19, n. 2, p. 145-165, june 2023. ISSN 2807-6532. Available at: <https://riset-iaid.net/index.php/bestari/article/view/1313>. Date accessed: 17 sep. 2024. doi: https://doi.org/10.36667/bestari.v19i2.1313.